Aristoteles (384 SM – 322 SM), pada zaman Yunani kuno, percaya bahwa cahaya merupakan semacam gangguan di udara. Menurutnya, cahaya terdiri dari partikel-partikel kecill yang dipancarkan oleh objek yang terang dan ditangkap mata.
Dua milenium kemudian, Sir Isaac Newton (1642 – 1727) adalah ilmuan Inggris yang berkontribusi besar dalam bidang optik, mungkin sebanyak sumbangsinhnya dalam bidang mekanika, yang telah menulis buku Opticks. Dalam bukunya itu, Newton mendukung ide Aristoteles.
Fenomena pemantulan dapat dengan sangat mudah dijelaskan oleh Newton dengan menerapkan prinsip tumbukan. Dengan memandang cahaya sebagai partikel, Newton bisa menjelaskan bukan hanya fenomena pemantulan, dispersi dan interferensi pun terjelaskan dengan sangat apik.
Di sisi lain, senior Newton, Cristian Hyugens (1629 – 1695) memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Huygens, cahaya adalah gelombang. Bukan partikel. Menurut Huygens, cahaya adalah osilasi yang merambat dalam ruang dalam wujud gelombang. Kita tahu bahwa sifat partikel itu melompat, sedangkan gelombang itu merambat. Tetapi sayangnya, Huygens berasumsi bahwa jenis gelombang cahaya itu adalah longitudinal, layaknya gelombang bunyi yang merambat dalam medium udara. Oleh sebab itu, teori Newton menjelaskan konsep cahaya lebih baik daripada Huygens. Sampai di sini, Newton menang.
Hingga kemudian Thomas Young (1773 – 1829) mendesain percobaan celah ganda yang membuktikan bahwa cahaya adalah gelombang. Dus, meskipun teori Newton lebih kuat daripada yang diusulkan Huygens, et the end of the day eksperimenlah yang menentukan teori mana yang salah. Tetapi Newton adalah ilmuan besar, hujjahnya dipandang oleh beberapa kalangan memiliki tingkat kebenaran yang lebih tinggi.
Temuan Young diperkokoh oleh Augustin-Jean Fresnel (1773 – 1829). Fresnel memformulasikan secara matematis teori gelombang cahaya dengan sangat memukau. Berbeda dengan Huygens, Fresnel memandang cahaya sebagai gelombang transversal.
Ada kisah menarik, bahkan ketika Young membuktikan secara eksperimen, beberapa ilmuan masih mengikuti pandangan Newton, seperti Pierre-Simon marquis de Laplace (1749 – 1827), Jean-Baptise Biot (1774 – 1862), dan Simeon-Dennis Poisson (1781 – 1840). Untuk meyakinkan dunia bahwa cahaya adalah gelombang, Fresnel mempresentasikan temuannya di hadapan Laplace, Biot, Poisson, Joseph Louis Gay-Lussac (1778 – 1850), dan presiden Akademi Sains Perancis Francois Arago (1786– 1850). Fresnel berhasilkan meyakinkan lima maha guru itu. Implikasinya, teori cahaya sebagai gelombang lebih relevan dibandingkan sebagai partikel. Sejak saat itulah, teori cahaya sebagai gelombang dianut secara luas ketimbang paham Newton.
Sampai tiba pada tahun 1905 ketika Albert Einstein (1879– 1955) menggunakan konsep kuanta-nya Max Planck (1858 – 1947) untuk menginterpretasikan efek fotolistrik. Salah satu implikasi besarnya adalah, cahaya memiliki sifat partikel dan sekaligus sebagai gelombang. Dikenal dengan dualisme gelombang-partikel. Gempar dunia saat itu. Banyak ilmuan tidak siap dengan temuan Einstein.
Kita tengok perjalanan sejarah, di era Newton cahaya dipandang sebagai partikel. Setelah perhelatan panjang, tiga ilmuan besar lainnya bekerja keras mencari konsep tentang cahaya. Dibutuhkan waktu sekitar 200 tahun untuk membangun konsep cahaya sebagai gelombang, melalui temuan Huygens, Young, dan Fresnel. Kemudian hanya 70 tahun sejak wafatnya Fresnel, konsep kuanta (paket-paket energi radiasi elektromagnetik) telah dimanfaatkan oleh Einstein untuk ‘mendamaikan‘ dua teori itu dengan mengusulkan teori baru yang memandang cahaya sebagai partikel dan juga sebagai gelombang.
Akankah paham tentang cahaya berhenti sampai di sini? Mungkinkah dalam masa yang akan datang akan ditemukan teori baru yang menggemparkan dunia sains seperti kejadian di tahun 1905 itu? Atau bahkan lebih gempar lagi?
Ini masih tentang cahaya. Belum tentang cahaya di atas cahaya. Nurun ‘ala nur.