Dalam buku berjudul “History and Evolution of Concepts in Physics” karya Harry Varvoglis, penulis memberikan kredit yang khusus terhadap dua ilmua muslim di masa Islam keemasan (750-1250). Masa ini adalah ketika sains berkembang begitu pesat di kalangan ilmuan-ilmuan muslim, tetapi mengalami kemunduran yang sangat dahsyat bagi ilmuan Barat. Masa ini juga dikenal dengan abad pertengahan. Lebih ekstrim lagi dikenal dengan “the Dark Ages”. Masa kegelapan bagi sains barat.
Siapakah dua ilmuan yang di-highlight oleh Harry Varvoglis? Pertama Ibnu Sina (980-1037) dan yang kedua Ibnu Al-Haitsam (965-1040). Kali ini kita akan fokus ke Ibnu Al-Haitsam untuk memotivasi kita mempelajari lebih serius bidang optik.
Ibnu Al-Haitsam memiliki nama lengkap Abu Ali Al-Hasan bin Al-Hasan bin Al-Haitsam atau dikenal oleh ilmuan Barat sebagai Alhazen. Beliau lahir di Basra, Irak pada tanggal 1 Juli 965 dan wafat di Kairo pada 6 Maret 1040 di usia 75 tahun.
Ibnu Al-Haitsam telah menulis lebih dari 200 kitab/buku sains, sampai saat ini menurut Harry yang tersisa sebanyak 55 buku. Sebagai filsuf, Al-Haitsam menguasai sains, matematika, geometri, falak, dan pengobatan.
Salah satu bidang sains yang paling fenomenal yang diwariskan Al-Haitsam adalah fisika optik. Ketertarikannya terhadap cahaya telah menjadikan Al-Haistam sebagai ilmuan optik paling berpengaruh. Melalui kitab Al Manadzir (Kitab Optik), Roger Bacon dan bahkan Kepler terinspirasi untuk mengembangkan teori optik yang berlandaskan pada pemikiran Al-Haitsam, termasuk dalam upaya mereka membuat alat-alat optik seperti mikroskop dan teleskop.